Senin, April 21, 2008

SAMPAH DAN PERMASALAHANNYA

Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktifitas manusia. Setiap aktifitas manusia pasti menghasilkan buangan atau sampah. Jumlah atau volume sampah sebanding dengan tingkat konsumsi kita terhadap barang/material yang kita gunakan sehari-hari. Demikian juga dengan jenis sampah, sangat tergantung dari jenis material yang kita konsumsi. Oleh karena itu pegelolaan sampah tidak bisa lepas juga dari ‘pengelolaan’ gaya hidup masyrakat.

Makin modern gaya hidup kita, sampah yang dihasilkan makin banyak. Tengok saja belanjaan kita untuk produk perawatan dan kecantikan tubuh. Ada botol sampo, botol shower gel, botol minyak wangi, botol deodoran, botol pelembap badan, tabung pasta gigi, maskara, kapas, tisu penyerap minyak, cotton bud, sampai hairs pray, sisir, dan hair dryer, yang semuanya akan jadi sampah. Itu baru dari satu jenis kebutuhan. Belum lagi sisa makanan, kertas bekas, bungkus permen, kain bekas, tisu, botol-botol, koran, kardus bekas, kemasan styrofoam, kantong plastik, mainan, baterai, dan sebagainya. Masih ditambah lagi dengan sampah yang dihasilkan oleh rumah sakit dan industri. Ada perban bekas, obat-obatan tak terpakai, botol infus, jarum suntik bekas, rongsokan mesin-mesin, limbah kimia, dan sebagainya.

Peningkatan jumlah penduduk dan gaya hidup sangat berpengaruh pada volume sampah. Sayangnya tidak ada yang bisa menyetop produksi sampah. Minimal setiap hari kita membuang kertas tisu, kertas, dan sisa makanan. Menurut data dari Dinas Kebersihan DKI Jakarta, tiap orang diperkirakan menghasilkan sampah sebanyak satu sampai dua kilogram sehari. Jadi kalau penduduk Indonesia 206 juta orang, sampahnya bisa mencapai 420.000 ton per hari. Padahal kabarnya, pemerintah kita baru bisa mengelola 20-30 persen dari total produksi sampah per hari. Sisanya bertebaran di mana-mana, atau jadi gunungan sampah tak terurus. Misalnya saja, kota Jakarta pada tahun 1985 menghasilkan sampah sejumlah 18.500 m3 per hari dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 25.700 m3 per hari. Jika dihitung dalam setahun, maka volume sampah tahun 2000 mencapai 170 kali besar Candi Borobudur (volume Candi Borobudur = 55.000 m3). [Bapedalda, 2000]. Selain Jakarta, jumlah sampah yang cukup besar terjadi di Medan dan Bandung. Kota metropolitan lebih banyak menghasilkan sampah dibandingkan dengan kota sedang atau kecil.

Secara umum, jenis sampah dapat dibagi dua yaitu sampah organik (biasa disebut sebagai sampah basah) dan sampah anorganik (sampah kering). Sampah basah adalah sampah yang berasal dari makhluk hidup, seperti daun-daunan, sampah dapur, dll. Sampah jenis ini dapat terdegradasi (membusuk/hancur) secara alami. Sebaliknya dengan sampah kering, seperti kertas, plastik, kaleng, dll. Sampah jenis ini tidak dapat terdegradasi secara alami.

Pada umumnya, sebagian besar sampah yang dihasilkan di Indonesia merupakan sampah basah, yaitu mencakup 60-70% dari total volume sampah. Oleh karena itu pengelolaan sampah yang terdesentralisisasi sangat membantu dalam meminimasi sampah yang harus dibuang ke tempat pembuangan akhir. Pada prinsipnya pengelolaan sampah haruslah dilakukan sedekat mungkin dengan sumbernya. Selama ini pengleolaan persampahan, terutama di perkotaan, tidak berjalan dengan efisien dan efektif karena pengelolaan sapah bersifat terpusat. Misanya saja, seluruh sampah dari kota Jakarta harus dibuang di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di daerah Bantar Gebang Bekasi. Dapat dibayangkan berapa ongkos yang harus dikeluarkan untuk ini. Belum lagi, sampah yang dibuang masih tercampur antara sampah basah dan sampah kering. Padahal, dengan mengelola sampah besar di tingkat lingkungan terkecil, seperti RT atau RW, dengan membuatnya menjadi kompos maka paling tidak volume sampah dapat diturunkan/dikurangi.

Sampah yang dibuang harus dipilah, sehingga tiap bagian dapat dikomposkan atau didaur-ulang secara optimal, daripada dibuang ke sistem pembuangan limbah yang tercampur seperti yang ada saat ini. Dan industri-industri harus mendesain ulang produk-produk mereka untuk memudahkan proses daur-ulang produk tersebut. Prinsip ini berlaku untuk semua jenis dan alur sampah. Pembuangan sampah yang tercampur merusak dan mengurangi nilai dari material yang mungkin masih bisa dimanfaatkan lagi. Bahan-bahan organik dapat mengkontaminasi/mencemari bahan-bahan yang mungkin masih bisa di daur-ulang dan racun dapat menghancurkan kegunaan dari keduanya. Sebagai tambahan, suatu porsi peningkatan alur limbah yang berasal dari produk-produk sintetis dan produk-produk yang tidak dirancang untuk mudah didaur-ulang; perlu dirancang ulang agar sesuai dengan sistem daur-ulang atau tahapan penghapusan penggunaan.

Program-program sampah kota harus disesuaikan dengan kondisi setempat agar berhasil, dan tidak mungkin dibuat sama dengan kota lainnya. Terutama program-program di negara-negara berkembang seharusnya tidak begitu saja mengikuti pola program yang telah berhasil dilakukan di negara-negara maju, mengingat perbedaan kondisi-kondisi fisik, ekonomi, hukum dan budaya. Khususnya sektor informal (tukang sampah atau pemulung) merupakan suatu komponen penting dalam sistem penanganan sampah yang ada saat ini, dan peningkatan kinerja mereka harus menjadi komponen utama dalam sistem penanganan sampah di negara berkembang. Salah satu contoh sukses adalah Zabbaleen di Kairo, yang telah berhasil membuat suatu sistem pengumpulan dan daur-ulang sampah yang mampu mengubah/memanfaatkan 85% sampah yang terkumpul dan mempekerjakan 40,000 orang.

Sampai saat ini pembuangan sampah ada yang dilakukan dengan cara dibuang sendiri, lewat tukang sampah di sekitar rumah, atau diambil langsung oleh petugas Dinas Kebersihan. Sampah yang dibuang sendiri ada yang dibuang di halaman rumah (ditimbun atau dibakar), dibuang ke sungai, tanah-tanah kosong di permukiman, atau tempat pembuangan sementara (TPS) terdekat. Demikian juga tukang sampah keliling, kalau tidak dibuang ke TPS, di sungai atau lahan kosong pun jadi. Jadi tetap ada sampah yang tercecer. Selanjutnya petugas Dinas Kebersihan mengangkut sampah dari TPS ke tempat pembuangan akhir (TPA). Itu pun tidak semua sampah di TPS bisa terangkut.

Kita pasti tahu, sampah bukan saja merusak pemandangan, tapi juga merusak kesehatan. Apalagi di musim hujan seperti sekarang ini. Sampah yang menumpuk di saluran air dan sungai akan menghambat arus air, hingga menyebabkan bencana banjir. Bau busuk dan banjir merupakan efek langsung sampah yang paling terasa sama kita. Data pemda menunjukkan, 60 sampai 70 persen penyebab banjir adalah sampah.

Tidak ada komentar:

WELCOME TO REFAC BLOG

Blognya orang-orang REFAC (Refrigerasi & Air Conditioning)

refac

refac
refac aplication